Jumat, 30 September 2011

Guru Besar Anomali



Dalam UU Republik Indonesia no. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,  Bab I tetang Ketentuan Umum Pasal 1 poin 3 (tiga) disebutkan bahwa  Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.  Selanjutnya pada pasal 49 ayat 1 tercantum pula bahwa  Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.
Kata Jabatan fungsional dan jabatan akademik tertinggi, tidak saja bermagna sebagai pengakuan prestasi akedemik, akan tetapi tersimpan magna yang paling dalam, yaitu “keteladanan”.    Magna keteladanan ini tidak saja menyangkut prestasi akademik, akan tetapi juga menyangkut norma dan moral.  Seseorang yang telah menyandang  jabatan fungsional tentunya telah meniti karir  dan melakukan kegiatan  tridharma, yang meliputi pendididkan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama.   Sederetan persyaratan tentunya sudah dipenuhinya, antara lain memiliki kualifikasi akademik Doktor.  Selain itu, calon Guru Besar harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan - perundangan yang berlaku.
Sebagai penghargaan atas kecermelangan karirnya tersebut, sejak Januari 2008, pemerintah memberikan sertifikasi otomatis kepada guru besar yang telah memiliki gelar doktor sehingga gajinya ditambah dengan satu kali gaji pokok. Mulai Januari 2009, para guru besar mendapatkan tunjangan kehormatan profesor  yang nilainya sebesar dua kali gaji pokok.
Pada awal karir seorang dosen  tentunya pernah terkilas dipikirannya bahwa suatu kelak nanti dia berharap dapat mencapai jabatan akademik tertinggi. Sayangnya dalam mencapai cita cita tersebut masih ada segelintir dosen yang seharusnya menjadi suri teladan, melakukan tindakan anomali  yang tidak sesuai dengan magna dan  norma yang melekat pada predikat Guru Besar yang akan diraihnya.
Temuan di lapangan masih menunjukkan bahwa dalam pengusulan Guru Besar masih ada tindakan  anomali yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi tersebut.  Pada suatu saat  salah satu Tim Penilaian Angka Kredit  mengevaluasi berkas pengusulan Guru Besar dan secara insting dia merasa bahwa ada yang kurang beres dengan publikasi hasil penelitian si pengusul.  Penerbit Jurnal internasional tempat karya ilmiah si pengusul diajukan tampak asing baginya, walaupun karya ilmiah tersebut dicetak dengan kelas cetakan dan kertas mewah sekelas penerbit Elsevier.  Dari keraguan ini selanjutnya dilakukan investigasi dengan cara mengunjungi alamat Jurnal Internasional tersebut.  Hasilnya ? Alamat penerbit tidak ditemukan dan yang ada hanya komplek pertokoan.  Hal ini mengindikasikan bahwa si pengusul memalsukan berkas karya ilmiahnya dengan cara mencetaknya sendiri.
Ada juga kasus lain, dimana secara kebetulan salah seorang Guru Besar yang membimbing Doktor menemukan karya ilmiah  bimbingannya yang sama sekali tidak mencantumkan nama beliau sebagai salah satu penulis, padahal beliau pembimbing utama dan disertasinya merupakan karya pemikiran bersama.  Alasan si penulis  melakukan tidakan yang kurang terpuji ini  adalah si pembimbing sudah Guru Besar dan tidak memerlukan  angka kredit lagi.  Ternyata karya ilmiah yang telah direkayasa dengan menghilangkan sama pembimbingnya tersebut  diajukan sebagai salah salah satu publikasi ilmiah utama dalam pengajuan Guru Besarnya.  Apapun alasannya tindakan  ini merupakan salah satu bentuk anomali yang mengarah kepada ketidakjujuruan ilmiah.
Kasus lain yang akhir akhir ini menggejala adalah mencapai gelar doktor tanpa proses belajar mengajar yang normal.  Secara administrasi ijasah yang didapat  memang asli dan resmi, akan tetapi secara proses belajar sama sekali tidak memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Doktor.  Program ini banyak ditawarkan oleh Negara tetangga dekat kita.  Petanyaan yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana mungkin seseorang mendapatkan gelar Doktor  yang notabene gelar akademik tertinggi tanpa melewati suatu program yang intensif.  Dalam masa studinya yang 2-4 tahun tersebut   sang dosen secara kumulatif  berada di Negara  yang bersangkutan hanya tidak lebih dari 2 bulan saja.  Ini berarti bahwa pada awal mendaftar beliau datang beberapa hari, dipertengahan studi datang beberapa hari dan mengikuti ujian akhir dan wisuda beberapa hari saja.  Bahkan beberapa diantaranya melakukankan seminar proposalnya di Universitas asalnya dengan hanya dihadiri sesama dosen koleganya.  Semua korespondensi dilakukan hanya melalui email.  Pada kasus yang lebih ekstrim ada dosen yang walaupun ijasahnya disebutkan berasal dari Negara lain, akan tetapi selama proses belajarnya tidak penah belajar dan mengunjungi Negara yang bersangkutan.  Dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi apabila sang Doktor yang diraihnya dengan cara seperti ini telah mencapai jabatan Guru Besar tersebut  membimbing mahasiswa? Wawasan ilmiah apa yang yang dia akan berikan kepada mahasiswanya?
Seperti yang telah diuraikan di atas  sebutan dan jabatanya Guru Besar itu merupakan akumulasi dari proses yang sangat panjang.  Dalam prosesnya, ada dosen yang dapat dengan cepat menggapainya ada pula yang mendapatkannya nyaris diujung masa baktinya. Dalam mencapainya ada empat kategori, yaitu:

Kelompok Pertama adalah Guru Besar yang dicapai dengan ‘segala cara’, karena Guru Besar bagi orang tersebut merupakan tujuan akhir yang harus dicapai. Konon pula dosen yang tergolong dalam kategori ini setelah mendapatkan guru besar dia akan frustasi karena ternyata ‘respect’ terhadap dirinya sebagai seorang guru besar dari orang sekitarnya dan harapan-harapan yang melekat dengan guru besarnya tersebut tidak seperti yang dia harapkan dan sebelumnya. Bahkan muncul gunjingan dan ungkapan dari lingkungan sekitarnya seperti: ‘orang seperti itu kok bisa ya jadi guru besar? Orang ini sering diungkapkan sebagai Guru Besar  GBHN (Guru Besar Hanya Nama).  Keberadaan Guru Besar ini di unit kerjanya dirasakan sebagai kegerahan yang luar biasa bagi kolega dan sama sekali bukan merupakan kebanggaan unit kerjanya.

Kelompok Kedua adalah Guru Besar yang dicapai atas dasar prestasi cemerlangnya dalam tridarma pergurunan tinggi .  Guru Besar kelompok ini sering disebut sebagai Guru Besar GBPP  (Guru Besar Pencapaianya melalui Prestasi). Konon Guru Besar dalam kelompok ini sering mendapat pujian seperti : ‘hebat ya masih muda sudah Guru Besar dan prestasinya dapat dijadikan panutan’ atau ‘hebat ya bapak-ibu itu, dia Guru Besar yang sangat berwibawa dan produktif’ Karena Guru Besarnya bukan merupakan tujuan akhir, maka setelah mendapat Buru Besar nya pun dia terus menunjukkan prestasi gemilangnya.  Bisanyanya Guru Besar ini dijadikan kebanggaan bagi unit kerjanya dan mahasiswa berbondong bondong antri untuk meminta beliau menjadi pembimbing.

Kelompok Ketiga adalah dosen yang Belum Guru Besar, tapi prestasi tridharmanya melebihi Guru Besar.  Kelompok ini sering disebut  dosen B-GBPP  ( Belum Guru Besar tapi Penuh Prestasi). Orang di sekitarnya sering sekali sudah menganggap dia sebagai Guru Besar karena kepakarannya. Biasanya orang ini kalau saja mau meluangkan waktu sebentar untuk mengajukan kenaikkan pangkat maka sudah dapat dipastikan dia akan memperoleh gelar Guru Besar.  Kelompok ini sering beranggapan bahwa secara moral dirinya masih belum pantas menjadi Guru Besar. Kalau sudah dirasa pantas, baru kemudian dia mengajukan Guru Besarnya

Kelompok Keempat adalah orang sekaliber Guru Besar prestasinya, tapi dia tidak pernah perduli dengan urusan kenaikan pangkatnya termasuk mengurus Guru Besarnya.  Kelompok ini  beranggapan bahwa Guru Besar merupakan suatu penghargaan atas prestasi seorang dosen. Oleh karena itu,  Institusi lah yang berkewajiban mengurus dan memberikan penghargaan tersebut kepadanya, bukan dia yang harus mengusahakannya. Kelompok ini sering diistilahkan KaGB (Kelompok acuh Guru Besar).
Mari kita merenung sejenak, termasuk kelompok manakah kita? Semoga kita tidak masuk ke dalam kelompok anomali  yang tanpa kita sadari telah  meracuni generasi penerus bangsa.

Sumber : Prof. Ronny Rachman Noor, Ir, MRur.Sc, PhD
Research and Community Services Institute - Bogor Agricultural University

Rabu, 21 September 2011

Ekosistem Mangove

DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
  sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, dan pewarna
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.


Selasa, 20 September 2011

Apa Perbedaan antara Negara Kepulauan, Negara Maritim dan Bangsa Maritim?

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah laut Indonesia lebih besar dari wilayah daratannya dan itu adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Kalau Indonesia terpecah menjadi banyak negara-negara kecil maka status negara kepulauan terbesar di dunia itu pun bisa jadi gugur. Jika itu terjadi, wilayah laut di dalam kepulauan Nusantara pun akan terkapling-kapling menjadi wilayah laut negara-negara baru.
Apakah sebagai negara kepulauan maka (sekarang) Indonesia otomatis menjadi negara maritim? Apakah kalau kita bicara ikan kita di laut banyak sekali dicuri oleh nelayan asing ilegal kita bisa menganggap kita sebagai negara maritim yang mampu menguasai wilayah laut kita sendiri?
Apakah bangsa Indonesia yang (sekarang) hidup di negara kepulauan ini otomatis adalah juga merupakan bangsa maritim? Mengapa kita sering mendengar banyak kapal ikan dari Jepang, Cina, Taiwan, dll menangkap ikan di Indonesia tapi jarang kita mendengar kapal ikan Indonesia menangkap ikan di negara-negara mereka? Ada kenalan saya belajar teknik perkapalan di Inggris sekitar tahun 2001 mengatakan bahwa 95% mahasiswa teknik perkapalan di universitas tempat dia belajar bisa mengoperasikan kapal layar (sailing boat). Sedangkan saya baru saja berbincang-bincang dengan sekitar 40an mahasiswa jurusan teknik perkapalan di sebuah perguruan tinggi dalam negeri dimana pada saat itu hanya 1 orang mahasiswa yang pernah berlayar dalam kurun waktu 1 bulan terakhir dan sisanya tidak pernah berlayar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Saya sendiri pun tahun 2007 ini hanya baru 2 kali berlayar di laut.
Bagaimana caranya dan apa syaratnya agar bangsa kita benar-benar menjadi bangsa maritim yang hidup di negara kepulauan Indonesia yang juga merupakan negara maritim yang kuat?


Selasa, 13 September 2011

Teknik Rehabilitasi Mangrove


Mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang mempunyai beberapa fungsi dan peranan, bagi dari segi ekologi maupun ekonomi. Secara Ekologi Mangrove berperan sebagai habitat berbagai jenis organisme, penghasil bahan organik yang tinggi, sebagai penghasil oksigen atau paru-paru kota, pelindung pantai dari abrasi dan tsunami, serta penahan intrusi air laut ke darat.

Sementara secara ekonomi, Mangrove sebagai sumber bahan bangunan dan kayu bakar, obyek wisata, tempat nelayan menangkap ikan, udang, kepiting dan kerang-kerangan, sebagai pakan ternak, sumber bahan makanan dan minuman serta sumber bahan baku obat-obatan dan kosmetik.

Namun sayangnya kondisi mangrove di Indonesia saat ini telah mengalami kerusakan sampai 50% dari potensi yang ada, dan hal ini juga terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara

Salah satu upaya untuk memulihkan dan melestarikan mangrove dari kondisi tersebut di atas, maka perlu dilakukan rehabilitasi. Sebaiknya dalam kegiatan rehabilitasi mangrove harus melibatkan seluruh unsur masyarakat yang terkait dengan keberadaan mangrove pada suatu daerah baik langsung maupun tidak langsung.

Di samping itu, rencana rehabilitasi mangrove harus mempertimbangkan zonasi atau tata ruang kawasan, manfaat dan fungsi kawasan serta aspirasi masyarakat di lokasi yang akan dilakukan rehabilitasi.

Teknik Pembibitan Mangrove

Secara umum teknik pembibitan terbagi menjadi tiga aspek yaitu penyiapan bibit, pembibitan dan lokasi. Yang perlu dilakukan dalam penyiapan bibit adalah sumber bibit mangrove sebisa mungkin dari lokasi terdekat, disesuaikan denga substat lokasi, persemaian dilakukan dilokasi bibit dan waktu pengumpulan buah. Aspek kedua yakni teknik pembibitan yang dilakukan dalam polibek atau bisa diganti dengan bambu, atau bekas botol air mineral. Pembibitan tersebut menggunakan media sedimen lumpur. Aspek terakhir yaitu cara pembibitan. Setidaknya terdapat tiga cara pembibitan, yaitu Bedeng Tingkat, Bedeng Tanpa Tingkat, dan Tanpa Bedeng.

Teknik Penanaman Mangrove
Banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses penanaman Mangrove. Pertama, lokasi dan jarak penanaman Mangrove disesuaikan dengan substrat tanah dan spesies Mangrove. Kedua, pemasangan ajir-ajir, yaitu patok-patok bambu yang ditanam dalam lokasi penanaman mangrove secara sejajar dan rapi. Ketiga, pada proses penanaman ada dua cara yang dapat digunakan yakni penanaman buahnya langsung dengan tingkat keberhasilan tumbuh hanya sekitar 20--30%, dan persemaian bibit dengan tingkat keberhasilan 60--80%. Tekniknya ada 2 cara dengan sistem banjaran dan wanamina (silfofishery). Keempat adalah pemasangan alat pemecah gelombang (Apo) yang akan melindungi bibit mangrove yang ditanam dari gempuran gelombang.


Teknik Pemeliharaan Mangrove
Setelah bibit mangrove ditanam maka perlu dilakukan pemeliharaan dengan kegiatan sebagai berikut:
Penyiangan dan Penyulaman, yaitu dengan memeriksa kondisi dan memastikan tidak ada sampah yang tersangkut, tumbuhan 'liar' yang tumbuh di sekitar penanaman, atau dengan menyiangi tanaman mangrove yang mati agar pertumbuhan tumbuhan lainnya tak terganggu. Penjarangan, yaitu dengan memberi ruang tumbuh yang ideal bagi tanaman yaitu agar pertumbuhan tanaman dapat meningkat dan pohon-pohon yang tumbuh bisa sehat dan baik. Perlindungan Tanaman, yaitu melindungi mangrove dari hama penganggu pada masa kritis. Misalnya pada usia 1 tahun hama yang bisa menyerang adalah ketam atau serangga. Pengelolaan Rehabilitasi Mangrove, Pengelolaan Rehabilitasi Mangrove yang baik adalah berbasis masyarakat dan sejalan dengan peningkatan kapasitas dan kegiatan ekonomi masyarakat.


Pemantauan dan Evaluasi
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, berdasarkan pembelanjaran dari beberapa kegiatan rehabilitasi mangrove yang pernah dilakukan pada selama ini, yaitu sebagai berikut : Kesalahan dalam waktu penanaman, pemilihan jenis dan teknologi rehabilitasi yang tidak sesuai dengan lokasi rehabilitasi, Tingginya aktivitas (perahu) di beberapa lokasi yang mengganggu keberhasilan kegiatan penanaman, Sempitnya waktu dari mulai perencanaan sampai dengan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi sehinggga tujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove tidak tercapai secara baik, Tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan mangrove yang masih rendah menjadi prmasalahan utama yang segera dipecahkan dalam pelaksanaankegiatan penyelematan rehabilitasi mangrove, dan Kurangnya keterlibataan masyarakat terutama dalam proses perencanaan dan kegiatan pemeliharaan tanaman hasil rehabilitasi. Disamping itu, pembinaan dari instansi erkait kepada masyarakat masih sangat terbatas, sehingga kepeduliaan masyarakat terhadap upaya-upaya pelestarian dan rehabilitasi mangrove masih rendah.

Diringkas oleh Admin dari Abdul Hamid,
-Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unhalu- Kendari
- Ketua Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara
- Kepala Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Laut Unhalu

Sumber http://www.kp3k.kkp.go.id

Senin, 12 September 2011

Riset Laut Illegal: Maling Data Potensi Laut Indonesia


POTENSI dan kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, wilayah nusantara menjadi  surga riset ilegal kapal asing. Tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan perusahaan, lembaga atau negara yang ingin menguasai bumi khatulistiwa. Banyak data dan potensi sumber daya alam dicuri karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian bangsa ini.
Sejak era reformasi, survei dan pemetaan laut yang dilakukan pihak asing semakin marak terjadi. Mulai dari kedok kerjasama institusi pemerintah dengan pihak asing, sampai dengan yang jelas-jelas ilegal alias tidak memiliki izin dari pemerintah Indonesia.
Kegiatan tersebut tanpa sadar membawa konsekuensi bocornya data negara yang seharusnya dirahasiakan.  Informasi tentang medan laut dapat digunakan pihak asing untuk menentukan taktik dan strategi militer, jika mereka ingin menguasai wilayah Indonesia.
Sebenarnya negara telah memiliki peraturan kerjasama internasional di bidang penelitian dan pengembangan, dengan adanya PP (Peraturan Pemerintah) No  41 tahun 2006,  tentang perizinan kegiatan penelitian dan pengembangan oleh pihak asing di Indonesia. Peraturan pemerintah ini menetapkan ketentuan, persyaratan, kewajiban dan larangan yang harus ditaati lembaga atau peneliti asing, mitra serta lembaga penjamin kegiatan penelitian.  Peraturan tersebut harus dilaksanakan pemerintah untuk melindungi masyarakat, bangsa dan negara dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan penelitian pihak asing.
Seluruh penelitian harus mendapat izin dari lembaga penanggung jawab, yaitu Kementerian Riset dan Teknologi, melalui tim yang dibentuk Sekretariat Perizinan Peneliti Asing (TKPIPA). Tim ini merupakan pokja interdept yang anggotanya terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Mabes POLRI, BIN, LIPI, BPPT, serta kementerian lain yang disesuaikan dengan misi riset.
Selain itu, kapal survei asing yang akan digunakan di Indonesia juga harus memenuhi persyaratan yang ditentukan Kementerian Pertahanan. Karena kapal riset asing bukan sekadar lewat, tetapi membawa data informasi kondisi laut Indonesia. Jika tidak berhati-hati data laut Indonesia bisa berpindah tangan.
Namun, pemerintah sendiri tidak konsekuen menjalankan peraturan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya benturan antar peraturan yang ada. Sebagai contoh, Undang-undang No 22 tahun 2001 yang mengatur tentang minyak dan gas. Aturan ini memberikan peluang bagi pihak asing untuk melakukan kegiatan survei dan pemetaan lepas pantai dengan cara mudah, yaitu cukup  memperoleh izin dari Dirjen Migas tanpa koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti yang diatur peraturan sebelumnya. Padahal, sudah sangat jelas bahwa penggunaan peneliti dan kapal asing harus mendapat persetujuan Security Clearance dari pihak Kementerian Pertahanan.
Birokrasi yang rumit serta panjangnya waktu untuk proses perizinan inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi para pelaku (mitra kerja dan lembaga penjamin di Indonesia) pemenang tender mencari jalan pintas dengan cara mengambil celah-celah hukum agar survei laut tetap “legal”, tanpa melewati prosedur. Hal ini terjadi, karena bagi mereka yang dipikirkan adalah benefit yang harus diperoleh. Memotong jalur birokrasi berarti menghemat waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
Perusahan penjamin PT.HIE misalnya, mitra pelaksana kegiatan survei migas lepas pantai asing yang beralamat di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan ini lebih senang memuluskan kegiatan survei melalui perizinan dari Dirjen Migas dibandingkan melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Padahal untuk urusan survei laut yang menggunakan tenaga ahli asing dan kapal asing diwajibkan mendapatkan pertimbangan dari tim yang berada di bawah Kemenristek  sebelum akhirnya memperoleh persetujuan Security Clearance dari Kemenhan.
Lalu, benarkah proses perizinan di Direktorat Wilayah Pertahanan Kemenhan memerlukan waktu lama seperti yang dikeluhkan para agen pelaksana kegiatan? Seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, untuk mengurus SC (Security Clearance) di Kemhan hanya butuh waktu paling lama tiga hari jika semua persyaratan seperti Diplomatic Clearance dari Kemenlu, PKKA (Permohonan Keagenan Kapal Asing) dari Kemenhub, kemudahan Khusus Bermukim (Dahsuskim) dari Imigrasi Kemenhukham serta persetujuan dari Sekretariat Perizinan peneliti Asing Kemenristek  telah lengkap.
Bukti inilah yang menunjukkan pihak  mana yang seharusnya diwaspadai melihat peluang  besar bocornya informasi data laut Indonesia.
Disebutkan sumber, bahwa kapal-kapal seismik (kapal riset) bisa sangat leluasa menyapu bersih informasi dasar laut Indonesia. Datanya pun langsung dikirim via satelit ke negara di mana perusahaan tersebut  memenangi tender.
Apalagi fakta menunjukkan sejak dulu Indonesia memegang peranan penting dalam jalur perdagangan dunia. Semakin meningkatnya ketergantungan dunia akan laut, perairan Indonesia menjadi incaran penguasaan negara asing, terutama negara yang industrinya sangat tergantung pada minyak bumi dan transportasi laut
Meningkatnya kebutuhan minyak bumi dibuktikan dengan semakin intensifnya survei seismik asing guna mencari wilayah-wilayah baru potensi minyak dan gas di dasar laut Indonesia. Wilayah nusantara  pun menjadi terbuka dari segala arah dan rentan terhadap perkembangan lingkungan, baik global, regional maupun nasional.
Mengutip apa yang pernah ditulis oseanolog Prof Illahude, keunikan dan kompleksitas perairan Indonesia telah menjadi daya tarik para peneliti asing dari berbagai negara. Hampir semua tipe dasar topografi ditemukan di Indonesia, seperti continental shelves, continental , insular slope, basin laut dalam, palung dan relung.
Ekspedisi penelitian laut Internasional pun banyak dilakukan mulai dari ekspedisi Challenger (1872-1875), The Gazelle (1875), The Valdivia (1899), The Siboga (1899-1900), The Planet (1906-1907), The Snellius I (1929-1930), The Albatros (1948), The Spencer of Bird (1947-1950), The Galathea (1981) serta yang terakhir Deep Sea Explorer (2010) yang dilakukan kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di Laut Sulawesi.

Praktek Riset Laut Illegal Harus Dihentikan
BANYAKNYA kapal asing yang melakukan riset di perairan Indonesia tanpa mengantongi izin dari lembaga terkait, mendapat kecaman dari berbagai pihak. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Bukan hanya data rahasia keamanan negara yang dicuri, potensi sumber daya alam dan energi pun bisa dicaplok pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaku harus ditangkap.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Hanura, Muradi Darmansyah mendesak pemerintah agar mengusut tuntas kasus kapal riset asing ilegal. “Negara ini kan punya aturan. Jadi jangan ada pelanggaran. Laut Indonesia sudah diatur sesuai dengan Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE).  Saya menilai ini adalah kelalaian pemerintah,” kata Muradi.
Untuk mengadakan eksplorasi dan penelitian, menurut Muradi, sesuai aturan kapal-kapal asing harus mendapat izin terlebih dulu dari pemerintah Indonesia. Apalagi menyangkut kekayaan alam Indonesia, mereka harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. “Jika dilanggar ini kriminal. Kami mengecam riset-riset ilegal tersebut. Ini suatu hal yang memperburuk negara kita di mata Internasional. Kita ini terlalu gampangan. Kami akan mempertanyakan ini pada lembaga terkait,” ujar Muradi.
Kecaman juga datang dari mantan KSAL, Laksamana (purn) Bernand Kent Shondak. Menurutnya, penelitian tidak hanya diatur UU Indonesia, tetapi juga diatur UU Internasional. Selama dirinya menjabat sebagai Komandan Staf Angkatan Laut tidak menemukan adanya indikasi kasus tersebut. Kecuali yang sudah diatur BPPT.
“Jika ada kapal asing yang melakukan riset tanpa izin wajib hukumnya ditangkap. Jika perlu ditenggelamkan saja,” ujar Kentyang mantan KSAL di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini
Apalagi jika penelitian laut untuk mencari layer (lapisan SOFAR), di mana kapal selam yang masuk di jalur itu tidak bisa ditembus sonar. “Layer itu rahasia negara yang paling penting. Pemetaan layer untuk kepentingan militer agar operasi kapal selam tidak terdeteksi sonar kapal patroli air,” kata Kent.
Ada juga kapal dari Amerika yang melakukan riset di perairan Indonesia,  tapi itu bekerjasama dengan BPPT. Jelas lanjut Kent, harus dicari tahu dan dilaporkan ke Angkatan Laut. “Yang paling sering itu di wilayah Maluku, Ambon. BPPT bekerjasama dengan kapal Amerika dan Jepang untuk penelitian ikan dan terumbu karang. Kalau untuk tujuan militer, apalagi sampai data diperjualbelikan tanpa kompromi harus ditangkap,” tegasnya.
Manfaat dan keuntungan dari penelitian itu sangat luar biasa, tapi keuntungan yang diambil sebagian besar untuk negara lain. Jika dibandingkan, menurut Kent, kerugiannya justru lebih besar. Karena data penting diambil mereka. “Sekarang baru sadar dan kaget. Dulu ke mana saja? Sekarang baru pada teriak. Saya tanya, segi mana yang menguntungkan Indonesia, tidak ada. Semua keuntungan untuk negara luar,” paparnya.Sikap apa yang harus dilakukan pemerintah? Pemerintah harus tegas. Kent kaget, kenapa TNI AL tidak mengetahui kegiatan penelitian secara ilegal. “Kita punya kapal patroli begitu banyak, masa tidak tahu. Jika memang ada yang tahu, saran saya sebaiknya segera dilaporkan. Dalam UU jelas bahwa harus ada izin dan Security Clearance yang dikeluarkan BAIS,” jelasnya.
Hal senada dikatakan pengamat kelautan, Sahala Hutabarat. Ia menilai kegiatan ilegal sangat merugikan bangsa Indonesia, sehingga harus dilakukan pengusutan secara tuntas. “Biasanya kan kalau kapal melakukan survei harus ada izin dari pihak-pihak terkait. Apalagi mengenai militer harus mendapat izin dari BIN, tentu dengan pengawasan Angkatan Laut,” ujar Sahala.
Sahala mengatakan, hasil penelitian harus menjadi data bersama, meski yang melakukan penelitian adalah kapal asing. “Waktu penelitian kapal Amerika di Sulawesi itu juga jelas, ada izin dari BPPT. Tapi, selama itu ilegal tentunya harus ditangkap,” tandasnya.