Kamis, 12 Januari 2012

Solusi 3 - Ukuran itu penting: Ubah strategi panen ikan kita untuk hindari perubahan evolusioner ikan laut yang tidak alami..


Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Ikan laut besar sedang didaratkan di pelabuhan.
Foto: blendungcity.com
Berpuluh-puluh tahun kita merasa benar mendorong para nelayan agar mengambil ikan yang terbesar saja. Mengembalikan ikan yang kecil ke laut agar memberikan kesempatan ikan kecil untuk tumbuh dan bereproduksi, sehingga keberlanjutan cadangan ikan masa depan terjamin - seperti itulah gambaran umumnya.
Namun, temuan riset terkini menjadi pelajaran bahwa cara tangkap 'pilih-pilih ukuran' semacam itu membawa dampak berlawanan dari yang kita kira.
Tidak cuma semakin kecil ukuran ikan yang berkembang biak dalam sebuah stok / populasi, namun ternyata mereka jadi semakin sulit untuk bertahan hidup dan bereproduksi - saat aktifitas penangkapan ikan mereda.
Demi populasi ikan yang lestari, siapa saja yang andil dalam mengelola praktik penangkapan ikan perlu merubah strategi panen mereka, agar perubahan evolusioner (evolusionary change) ikan laut di masa depan yang lebih sesuai, sekaligus menghindari penangkapan berlebih (overfishing).
Perikanan kita harus juga harus mulai melepaskan kembali sebagian besar ikan-ikan laut ukuran besar dewasa yang rutin ditangkap. Ternyata mengurangi jumlah tangkapan saja tidak cukup.
Jika ikan besar tidak ada yang disisakan, hanya mengandalakan kendali jumlah ikan yang tangkap sebagai patokan lestari, maka cadangan ikan laut di masa depan mungkin bisa pulih secara jumlah - namun tidak dalam ke keadaan fisiologis 'normal' mereka. Sebab mereka sudah mengalami evolusi pertumbuhan dan reproduksi yang jauh dari karakteristik aslinya.
Namun hingga saat ini, banyak ahli berasumsi bahwa perubahan evolusi hanya terjadi sangat lambat pada ikan laut liar - membutuhkan ribuan tahun - sehingga bisa diabaikan. Ikan laut liar juga diduga pertumbuhannya akan lebih cepat di kawasan yang ditangkap berlebih, sebab ikan yang berkompetisi untuk 'berebut' makanan lebih sedikit.
Ternyata, arus temuan dari penelitian terkini pada ikan laut liar dan juga yang di-biak-kan, juga dari simulasi ekologi ikan; temukan bahwa: pola panen ikan yang 'pilih-pilih ukuran' (size selective) bisa sebabkan perubahan genetik drastis yang memicu: (1) pertumbuhan ikan yang lebih lambat dan (2) ukuran dewasa yang lebih kecil dan dalam usia lebih muda / dewasa-dini.
Jika regenerasi ikan berlanjut terus demikian maka manusia memicu perubahan evolusi bisa terjadi lebih cepat. Hasil penelitian laboratorium menduga bahwa, dalam kondisi demikian yang berlanjut hanya dalam beberapa lapis generasi ikan, makan hasil panen/tangkapan ikan laut bisa berkurang hingga 50 persen.
Jika kita memang ingin menyisakan ikan lestari untuk generasi masa depan, maka pastikan generasi kita saat ini:
  1. tidak menangkap berlebih (tangkap ikan dalam jumlah yang lestari),
  2. mulai berkomitmen mengelola kawasan larang tangkap (agar ada ruang pasti agar jumlah, ukuran, dan jenis ikan bisa pulih), dan 
  3. jangan pilih-pilih ukuran ikan yang ditangkap untuk jenis ikan laut liar yang bermigrasi (tetapkan ukuran maksimum dan minimum lestari untuk di tangkap).
Yang paling mengkhawatirkan ialah perubahan evolusioner ikan terpantau saat sudah terlajnur terjadi, dan membalikan keadaan ekologis alami ikan laut bisa dikatakan hampir tidak mungkin - diluar kemampuan manusia.
Yang jelas, ini semua tanggungan generasi manusia saat ini yang masih hidup, yang terus mengeruk ikan laut ribuan ton-demi-ribuan-ton, dalam menit-demi-menit.
Ikan laut memiliki ukuran dewasa yang beragam. Manusia perlu cermat memilih ukuran besar dewasa ikan yang ditangkap,  dan juga menyisakan ikan besar dewasa dalam jumlah besar di lautan.
Foto: http://www.pac.dfo-mpo.gc.ca
Digubah kembali dari kutipan tulisan David Conover oleh Siham Afatta

Rabu, 07 Desember 2011

Solusi 2 - Kecil tapi perkasa: Waktunya kita junjung peranan perikanan skala kecil di pasaran nasional dan dunia.

Bagian dari seri '10 solusi untuk perikanan lestari.'

Kita sering mendengar dari biolog laut dan praktisi konservasi laut disekitar kita, dan juga di dunia - bahwa: Perikanan industri manusia di dunia lebih cepat pengaruhnya dalam membawa ekosistem laut menuju kelumpuhan, khususnya bagi cadangan populasi dan keragaman jenis ikan laut dunia, dibanding perikanan skala kecil / artisan / tradisional.
Namun ternyata, para pemangku kebijakan negara-negara perikanan, termasuk Indonesia, juga cenderung lebih mendukung nelayan skala industri / komersil besar dengan kemudahan akses dagang yang lebih besar dalam ekonomi pasar perikanan regional, nasional dan internasional.
Hal ini juga didukung kuat dengan pandangan umum ekonomi pemerintahan negara-negara dunia bahwa perikanan industri / komersil besar punya kemampuan paling tinggi dalam memanen jumlah ikan dari laut setiap tahunnya. Perikanan ndustri dianggap lebih produktif untuk sebuah negara.
Salah satu contoh armada tangkap perikanan skala kecil di Indonesia.
Foto: Siham Afatta
Ternyata persepsi ini salah. Hasil riset yang meng-estimasi rinci tentang jumlah ikan yang ditangkap manusia secara global tiap tahun-nya, menunjukkan bahwa perikanan skala kecil sebenarnnya juga mendaratkan ikan setara dengan jumlah dari perikanan industri / komersil besar - setidaknya untuk ikan yang ditangkap murni untuk tujuan konsumsi manusia.
Temuan baru ini juga menegaskan bahwa ketahanan pangan masyarakat negara-negara perikanan saat ini tidak bergantung pada perikanan industri dunia, melainkan perikanan skala kecil mereka - baik lokal-regional dan nasional. 
Ini juga berarti keberlangsungan roda perekonomian perikanan skaka kecil suatu negara punya prioritas lebih tinggi dibandingkan perikanan skala industri / komersil besar yang cenderung bergerak antar-negara (transnasional).
Jika kita balik ke soal upaya kita melestarikan cadangan ikan laut kita yang saat ini terus terpuruk, maka perikanan skala kecil punya nilai tambah lagi - sebab perikanan skala industri komersil besar punya track record yang jauh lebih buruk dalam menurunkan jumlah dan keanekaragaman jenis ikan laut suatu negara atau kawasan perairan.
Perikanan tangkap skala kecil, atau perikanan tangkap 'artisan' / 'tradisional',  melibatkan nelayan dalam jumlah dan tugas tenaga kerja yang jauh lebih banyak dan beragam. Mereka cenderung bekerja mengelola ikan yang ditangkap di pesisir, menangkap ikan dengan perahu kecil dan alat tangkap pasif (red: tidak ada / sedikit mekanisme gerak) - sehingga mengkonsumsi bahan bakar yang relatif lebih kecil untuk tiap satuan ikan yang didaratkan.
Sebaliknya, pada perikanan tangkap industri / komersil besar, jumlah pekerja relatif lebih sedikit namun cenderung menggunakan armada yang besar dan sarat konsumsi tinggi bahan bakar, dan menggunakan alat tangkap aktif (punya mekanimsme gerak) dengan daya ambil ikan yang besar - banyak telah meluluhratakan ekosistem dasar menggunakan jaring dan alat tangkap yang diseret di dasar laut. 
Contah kapal tangkap skala industri / komersil besar di Indonesia untuk ikan tuna dengan alat tangkap longline.
Foto: Indosmarin.com.
Dan meskipun armada industri mengolah ikan sejak di laut lepas, pekerja perikanan industri yang bekerja di pesisir juga tidak sedikit - memicu persaingan kerja dengan nelayan lokal artisan / tradisional. sehingga usaha perikanan skala kecil sulit berkompetisi.
Sudah mengkondisi di banyak negara, termasuk Indonesia, dimana harga bahan bakar, seperti solar, yang terus meningkat dan terkadang sudah tidak mampu dijangkau nelayan skala kecil sehingga membatasi ruang pencaharian. Tidak itu saja,  imbas penurunan jumlah cadangan dan keanekaragaman ikan di laut akibat 'daya keruk ikan' armada industri juga dirasakan nelayan artisan / tradisional - dimana ikan ditangkap semakin sedikit dan kecil ukurannya, jarak tempuh ke lokasi tangkap juga semakin jauh.
Banyak pemerintah negara maritim sudah didesak kelompok pemerhati hak asasi nelayan dan lingkungan pesisir laut agar mereka mengurangi subsidi keuangan mereka pada perikanan industri dan supaya lebih berpihak kepada perikanan skala kecil. Indonesia, adalah contoh negara yang sebenarnya cenderung tidak menangkap ikan secara langsung, namun lebih banyak menjual izin tangkap pada armada industri asing untuk menangkap ikan Indonesia di perairan Indonesia.
Sayangnya, arus devisa negara yang dihasilkan dari perijinan asing tidak mengalir langsung perikanan skala kecil / tradisional / artisan dalam wujud aset, infrastruktur, serta mekanisme pasar yang bisa mendukung skala kecil berkompetisi dengan perikanan industri di dalam negeri sendiri. Namun justru balik mengalir kembali pengembangan perikanan industri di Indonesia. Menambah berat tekanan kompetisi bagi perikanan skala kecil.
Dalam kurung waktu panjang kedepan, setidaknya 20 hingga 30 tahun kedepan, bertahannya ekonomi dan budaya perikanan kita bergantung sejauh mana kita bisa mengutamakan hak sosial dan kemajuan ekonomi perikanan skala kecil  - namun dibarengi pengelolaan lestari sumber daya alam ikan di negara kita.
Beberapa poin perbandingan antara perikanan skala besar (PB) dan perikanan skala kecil (PK) yang berlangsung di dunia saat ini:
  • PK memberi peluang kerja lebih besar: PB mempekerjakan sekitar setengah juta orang, sedangkan PK lebih dari 12 juta pekerja.
  • PK juga sama produktifnya: PB mengambil ikan setiap tahunnya untuk konsumsi manusia sebanyak 29 juta ton, sedangkan PK 24 juta ton.
  • Nilai investasi PK lebih ringan: Nilai pekerjaan bagi pekerja di armada tangkap untuk PB antara AS$ 30.000 hingga 300.000, sedangkan PK hanya AS$ 250 - 2.500
  • PK mendukung ketahanan pangan suatu negara: PB setiap tahunnya memanfaatkan ikan tangkapannya untuk kebutuhan konsumsi sekunder / tidak langsung seperti makanan terproses, minyak ikan, dll sebesar 22 juta ton - bukan untuk kebutuhan pangan langsung; sedangkan PK memanfaatkan hampir semuanya langsung untuk konsumsi manusia dengan porsi besar dinikmati dalam negara.
  • PK lebih rendah emisi: PB menggunakan 14 hingga 19 juta ton bahan bakar minyak sedangkan PK hanya 1-3 juta ton.
  • PK lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar: Setiap ton bahan bakar minyak yang digunakan PB menghasilkan 2 hingga 5 ton ikan, sedangkan PK lebih efisien sebesar 10 hingga 20 ton.
  • PK melibatkan lebih banyak golongan kerja: Dalam perbandingan nilai usaha perikanan yang setara, PB melibatkan hanya 5 hingga 30 pekerja, sedangkan PK melibatkan 500 hingga 4000 orang.
  • PK jauh lebih menghargai ikan yang ditangkap: Ikan dan avertebrata yang dibuang di laut sebagai 'tangkapan sampingan' dari PB mencapai 10 hingga 20 juta ton, sedangkan PK sangat sedikit.
Sudah jelas, jika prioritas pembangunan perikanan terfokus pada skala kecil, kita tidak hanya memilih perikanan dengan dampak lingkungan dengan resiko lebih rendah, namun juga memberi peluang lebih besar sumber daya ikan untuk pulih serta memberikan keuntungan sosial terkait kesempatan kerja lebih besar dan menjanjikan.

Ayo mulai cintai produk laut hasil perikanan skala kecil lokal.
Tabel perbandingan keuntungan yang didapat antara perikanan skala besar / industri / komersil dengan perikanan skala kecil / tradisional / artisan.
Gambar: scienceblogs.com
Referensi:
Pauly, D. 2006. Maritime Studies (MAST) 4(2): 7-22
 
Sumber : Laut & Kita

Rabu, 19 Oktober 2011

Solusi 1 - Perbanyak makan Teri : Bagian dari seri '10 opini untuk selamatkan pesisir dan laut.'


Ikan Teri - bangun satu generasi yang gemar ikan Teri maka bisa bantu kurangi tekanan tangkap dan dukung pemulihan populasi ikan laut di tingkat teratas yang terancam seperti Tuna, Kakap, Hiu, Ikan Pedang, Kerapu, dan predator lain-nya yang saat ini dieksploitasi berlebih dan hampir habis.
Foto: Maangchi.com
Di daratan, manusia tidak mengambil makanan dari hewan predator di tingkat teratas sepert singa, harimau, dan serigala - justru dari tingkat terendah yang dekat dengan hehijauan.
Di lautan ternyata berbeda, manusia mengambil habis hewan predator teratas laut. Permintaan manusia yang terus tinggi akan tuna, hiu, kerapu, ikan pedang, dan ikan laut predator teratas lainnya terus memicu naiknya harga jual daging ikan-ikan ini - memicu nelayan terus menangkap, hingga keberlanjutan cadangan ikan di laut terancam di banyak tempat di dunia - termasuk Indonesia.
Kabar baiknya adalah kita tidak harus berhenti makan ikan secara total untuk menjamin ketersediaan hidangan laut untuk anak cucu kita - kita hanya perlu merubah kebiasaan makan kita.
Banya spesies ikan di laut saat ini sudah di ekploitasi berlebih oleh kita, namun bukan berarti sumber protein di laut akan habis - sebab alam menyediakan alternatif.
Contoh perhitungan sederhana: Dibutuhkan sekitar 60 juta ton ikan tiap tahun-nya sebagai sumber makanan bagi 3 juta ton tiga jenis ikan tuna tropis yang kita panen setiap tahun-nya.
Jika kita bisa mengurangi menangkap atau menggantikan daging tuna dengan teri, sarden, cumi dan spesies ikan tingkat rendah lain yang disantap tuna, maka kita bisa mengalokasikan cadangan protein laut yang cukup besar bagi jutaan orang di masa depan, dan membantu ikan tingkat atas untuk pulih populasi-nya.
Jarang makan ikan tuna dan ikan besar lainnya? Berarti pola makan anda bisa jadi mendukung kelestarian ikan. Tapi jangan berhenti disitu saja, pemerintah dan masyarakat kita masih jauh dari cukup menjagai kelestarian ikan.
Berjuta-juta ton ikan tuna dan predator laut ekonomis lainnya tiap tahunnya terus diambil dari laut Indonesia - baik secara legal maupun ilegal, baik sampai di piring warga Indonesia, atau dilarikan ke negara lain. Memang tampak negara kita 'produktif' dari laut, namun kelestariannya untuk cadangan ikan masa depan dan kesejahteraan jutaan nelayan yang masih miskin, perlu dipertanyakan dan banyak keraguan.
Sempat makan menu daging ikan yang mahal ? Maka pertanyakan terlebih dahulu, apakah mahal (1) sebab ikan tersebut saat ini sudah jarang ditemui / sulit didapat, alias 'calon punah', atau (2) sebab datang dari luar Indonesia, alias 'mendukung eksploitasi berlebih di negara lain', ataukah (3) sebab harga yang kita bayar benar-benar mengalir  dengan baik untuk dompet  kesejahtaeraan nelayan dalam negeri ? Waktunya kita peka. Ketidak pekaan membawa ketidaklestarian.
Pastinya, tidak hanya ekonomi perikanan kita yang tidak adil bagi nelayan, cara kita memanen ikan dari laut pun juga tidak adil bagi spesies-spesies ikan itu sendiri.
Kita mengambil habis spesies ikan tertentu saja yang manusia gemari untuk kepuasan mulut dan pasar dagang kita. Solusinya adalah: merubah pola panen kita di laut yang rebih ramah ekologi. Caranya? Kita berhenti memanen spesies ikan di tingkat rantai makanan teratas(predator) yang sudah di ambil secara berlebih tiap detiknya, dan mulai memanfaatkan ikan di tingkat jaring makanan terendah.
Betul sekali. Mulai gemari santap Ikan Teri dan teman-teman sekelasnya.
Kita yang selalu bangga termakan gengsi menyantap ikan predator teratas umumnya tidak sadar atau tidak peduli akan kerugian konservasi alam laut yang kita hasilkan. Bahkan, kita sebenarnya sudah menangkap ribuan ton ikan kecil, seperti teri, setiap tahunnya. Namun, dengan kerendahan nalar kita, banyak ikan teri kita larikan ke industri ternak, digiling dan dikirim ke peternakan-peternakan sebagai bahan dasar pakan ayam, babi dan juga ikan budidaya.
Gengsi kita dalam memuaskan idera pengecap di lidah kita, telah membuat ikan di tingkat jaring makanan terendah - seperti teri -  dihargai murah dan dijadikan pakan murah untuk hewan-hewan ternak - yang sebenarnya pemakan tumbuhan pada umumnya. Membuang jutaan peluang untuk ketahanan pangan dan sumber protein warga Indonesia.
Gengsi pola ekonomi kita dalam menghargai ikan telah membuang jumlah besar sumber protein laut yang penting untuk ketahanan pangan jutaan rakyat - belum lagi menghitung emisi bahan bakar yang digunakan untuk pemrosesan pengiriman ikan-ikan tersebut ke industri ternak.
Kesederhanaan membawa keramah-lingkungan-an. Beri waktu untuk ikan di tingkat jaring makanan teratas, seperti ikan perdator yang mencakup tuna, ikan pedang, hiu, kerapu, kakap, dan lainnya - untuk pulih kembali dari ekonomi global manusia yang terus menekan. 
Mulailah hobi makan ikan teri. Pastikan tidak makan karena gengsi lidah dan harga, utamakan kelestarian dan cadangan protein laut dengan melestarikan ikan yang terancam untuk ketahanan pangan masyarakat masa depan.
Di belahan lain dunia, pesan diatas telah mengakar di sebuah masyarakat. Masyarakat negara Peru contohnya, yang sudah andil dalam lebih dari separuh industri makanan laut dunia sejak 1950-an, saat ini mengangkat ikan kecil sekelas teri (anchovies) sebagai fine food atau makanan mewah.
Pemerintah Negara Peru mengkampanyekan semacam 'Minggu Teri', dimana sekitar 18.000 orang andil dalam hidangan fine dining berbahan dasar kelompok ikan anchovy, termasuk fry fish atau teri; yang disajikan 30 restoran mewah besutan koki-koki profesional. Satu lagi terobosan mereka adalah, ikan teri menjadi bagian dari menu dalam program ketahanan pangan nasional.
Apakah ini waktunya ikan teri bagian dari 'empat sehat lima sempurna'?  Laut kita lebih luas, hati dan tenaga kita lebih besar dan banyak, kita bisa beri perubahan besar - jika dilakukan bersama.
Transisi pola makan berarti transisi budaya berarti transisi pola hidup. Ini tidak akan mudah, namun kita harus teladani mereka yang melaut untuk menghidupi keluarga mereka, mereka yang hidup dalam kesederhanaan dan mengajari anak-anak mereka untuk bersyukur dan sederhana dengan 'hidangan apa adanya'. Mencontoh dan belajar dari yang mau makan teri.
Ayo gemar teri. Budaya kita mewarisi banyak cara masak dan hidang teri yang lezat. Kapan lagi? Mulailah dengan menyebarkan artikel opini ini dan segera belanja dan masak ikan teri.
Digubah dari beberapa kutipan dari tulisan Martin Hall oleh Siham Afatta
Sumber : laut & Kita

Minggu, 09 Oktober 2011

Sejarah Maritim yang Terlupakan

Sejarah mencatat bahwa kejayaan bahari bangsa Indonesia sudah lahir sebelum kemerdekaan, hal ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah maupun sejarah. Peneuman situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut, selain itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain yang tentunya menggunakan kapal-kapal yang laik layar. Kerajaan Sriwijaya (683 M – 1030 M) memiliki armada laut yang kuat, menguasai jalur perdagangan laut dan memungut cukai atas penggunaan laut.  Pengaruhnya meliputi Asia Tenggara yang mana hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah bahwa terdapat hubungan yang erat dengan Kerajaan Campa yang terletak di antara Camboja dan Laos.
Kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah bersama kerajaan lainnya seperti Kerajaan Tarumanegara telah membangun Candi Borobudur yang pada relief dindingnya dapat terlihat gambar perahu layar dengan tiang-tiang layar yang kokoh dan telah menggunakan layar segi empat yang lebar.  Kejayaan Kerajaan Singosari di bawah kepemimpinan Raja Kertanegara telah memiliki armada kapal dagang yang mampu mengadakan hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan lintas laut. Perkembangan Kerajaan Singosari dipandang sebagai ancaman bagi Kerajaan Tiongkok dimana saat itu berkuasa Kaisar Khu Bilai Khan. Keinginan untuk menaklukkan Kerajaan Singosari dilakukan Khu Bilai Khan dengan mengirim kekuatan armadanya hingga mendarat di Pulau Jawa.   Disaat Kertanegara harus berhadapan dengan kekuatan armada Khu Bilai Khan, Raden Wijaya memanfaatkan momentum ini untuk membelot melawan Kertanegara dan mendirikan Kerajaan Majapahit.  Kerajaan Majapahit (1293 M – 1478 M) selanjutnya berkembang menjadi kerajaan maritim besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang luas meliputi wilayah Nusantara.   Dengan kekuatan armada lautnya, Patih Gajah Mada mampu berperang untuk memperluas wilayah kekuasaan, sekaligus menanamkan pengaruh, melaksanakan hubungan dagang dan interaksi budaya. Bukti-bukti sejarah ini tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan bahari Bangsa Indonesia sudah bertumbuh sejak dahulu.
Berbagai dokumen tentang kejayaan bahari Bangsa Indonesia pada masa lalu, namun dalam perjalanannya kemudian mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya hal ini, yaitu praktek kebaharian kolonial Belanda pada masa lalu; dan kebijakan pembangunan bahari pada masa rezim Orde Baru. Pada masa kolonial Belanda, atau sekitar abad ke -18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa kerajaan bahari nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasar kebaharian Ammana Gappa di Sulawesi Selatan.  Akibatnya budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa bahari. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia Pasifik, pelayaran nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya investasi. Pada era kolonialisme terjadi pengikisan semangat bahari Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot masyarakat indonesia untuk melakukan aktivitas agraris untuk kepentingan kolonial dalam perdagangan rempah-rempah ke Eropa. Mengembalikan semangat bahari itu tidak mudah, diperlukan upaya yang serius dari semua elemen bangsa.
Sudah sepantasnya kita mengoptimalkan Unclos 1982 yang merupakan peluang terbesar negara kepulauan, namun lemahnya perhatian dan keberpihakan pemerintah di laut maka beberapa kerugian yang ditimbulkannya, seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 dengan alasan “ineffective occupation” atau wilayah yang diterlantarkan. Posisi strategis Indonesia setidaknya memberikan manfaat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu; alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit passage, dan archipelagic sea lane passage) berdasarkan ketentuan IMO; luas laut territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan Unclos 1982 yang mempunyai sumberdaya kelautan demikian melimpah; dan sumber devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik. Minimnya keberpihakan kepada sektor bahari (maritime policy) salah satunya menyebabkan masih semrawutnya penataan selat Malaka yang sejatinya menjadi sumber devisa; hal lainnya adalah pelabuhan dalam negeri belum menjadi international hub port, ZEE yang masih terlantar, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah perbatasan negara tidak kunjung tuntas, serta makin maraknya praktik illegal fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan semakin meningkatnya penyelundupan di perairan Indonesia.
Pembangunan nasional bertujuan untuk meningakatkan kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan merata. Seiring dengan tujuan tersebut maka kemampuan pertahanan dan keamanan harus senantiasa ditingkatkan agar dapat melindungi dan mengamankan hasil pembangunan yang telah dicapai. Pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya nasional.   Pesatnya perkembangan  teknologi  dan  tuntutan  penyediaan  kebutuhan sumber daya yang semakin besar mengakibatkan laut menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan bahari merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia di laut. Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis bahari adalah; laut sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia…
JAYA DI LAUT..SEJAHTERA DI DARAT

Jumat, 30 September 2011

Guru Besar Anomali



Dalam UU Republik Indonesia no. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen,  Bab I tetang Ketentuan Umum Pasal 1 poin 3 (tiga) disebutkan bahwa  Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.  Selanjutnya pada pasal 49 ayat 1 tercantum pula bahwa  Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.
Kata Jabatan fungsional dan jabatan akademik tertinggi, tidak saja bermagna sebagai pengakuan prestasi akedemik, akan tetapi tersimpan magna yang paling dalam, yaitu “keteladanan”.    Magna keteladanan ini tidak saja menyangkut prestasi akademik, akan tetapi juga menyangkut norma dan moral.  Seseorang yang telah menyandang  jabatan fungsional tentunya telah meniti karir  dan melakukan kegiatan  tridharma, yang meliputi pendididkan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam kurun waktu yang cukup lama.   Sederetan persyaratan tentunya sudah dipenuhinya, antara lain memiliki kualifikasi akademik Doktor.  Selain itu, calon Guru Besar harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan - perundangan yang berlaku.
Sebagai penghargaan atas kecermelangan karirnya tersebut, sejak Januari 2008, pemerintah memberikan sertifikasi otomatis kepada guru besar yang telah memiliki gelar doktor sehingga gajinya ditambah dengan satu kali gaji pokok. Mulai Januari 2009, para guru besar mendapatkan tunjangan kehormatan profesor  yang nilainya sebesar dua kali gaji pokok.
Pada awal karir seorang dosen  tentunya pernah terkilas dipikirannya bahwa suatu kelak nanti dia berharap dapat mencapai jabatan akademik tertinggi. Sayangnya dalam mencapai cita cita tersebut masih ada segelintir dosen yang seharusnya menjadi suri teladan, melakukan tindakan anomali  yang tidak sesuai dengan magna dan  norma yang melekat pada predikat Guru Besar yang akan diraihnya.
Temuan di lapangan masih menunjukkan bahwa dalam pengusulan Guru Besar masih ada tindakan  anomali yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi tersebut.  Pada suatu saat  salah satu Tim Penilaian Angka Kredit  mengevaluasi berkas pengusulan Guru Besar dan secara insting dia merasa bahwa ada yang kurang beres dengan publikasi hasil penelitian si pengusul.  Penerbit Jurnal internasional tempat karya ilmiah si pengusul diajukan tampak asing baginya, walaupun karya ilmiah tersebut dicetak dengan kelas cetakan dan kertas mewah sekelas penerbit Elsevier.  Dari keraguan ini selanjutnya dilakukan investigasi dengan cara mengunjungi alamat Jurnal Internasional tersebut.  Hasilnya ? Alamat penerbit tidak ditemukan dan yang ada hanya komplek pertokoan.  Hal ini mengindikasikan bahwa si pengusul memalsukan berkas karya ilmiahnya dengan cara mencetaknya sendiri.
Ada juga kasus lain, dimana secara kebetulan salah seorang Guru Besar yang membimbing Doktor menemukan karya ilmiah  bimbingannya yang sama sekali tidak mencantumkan nama beliau sebagai salah satu penulis, padahal beliau pembimbing utama dan disertasinya merupakan karya pemikiran bersama.  Alasan si penulis  melakukan tidakan yang kurang terpuji ini  adalah si pembimbing sudah Guru Besar dan tidak memerlukan  angka kredit lagi.  Ternyata karya ilmiah yang telah direkayasa dengan menghilangkan sama pembimbingnya tersebut  diajukan sebagai salah salah satu publikasi ilmiah utama dalam pengajuan Guru Besarnya.  Apapun alasannya tindakan  ini merupakan salah satu bentuk anomali yang mengarah kepada ketidakjujuruan ilmiah.
Kasus lain yang akhir akhir ini menggejala adalah mencapai gelar doktor tanpa proses belajar mengajar yang normal.  Secara administrasi ijasah yang didapat  memang asli dan resmi, akan tetapi secara proses belajar sama sekali tidak memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Doktor.  Program ini banyak ditawarkan oleh Negara tetangga dekat kita.  Petanyaan yang muncul dalam benak kita adalah bagaimana mungkin seseorang mendapatkan gelar Doktor  yang notabene gelar akademik tertinggi tanpa melewati suatu program yang intensif.  Dalam masa studinya yang 2-4 tahun tersebut   sang dosen secara kumulatif  berada di Negara  yang bersangkutan hanya tidak lebih dari 2 bulan saja.  Ini berarti bahwa pada awal mendaftar beliau datang beberapa hari, dipertengahan studi datang beberapa hari dan mengikuti ujian akhir dan wisuda beberapa hari saja.  Bahkan beberapa diantaranya melakukankan seminar proposalnya di Universitas asalnya dengan hanya dihadiri sesama dosen koleganya.  Semua korespondensi dilakukan hanya melalui email.  Pada kasus yang lebih ekstrim ada dosen yang walaupun ijasahnya disebutkan berasal dari Negara lain, akan tetapi selama proses belajarnya tidak penah belajar dan mengunjungi Negara yang bersangkutan.  Dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi apabila sang Doktor yang diraihnya dengan cara seperti ini telah mencapai jabatan Guru Besar tersebut  membimbing mahasiswa? Wawasan ilmiah apa yang yang dia akan berikan kepada mahasiswanya?
Seperti yang telah diuraikan di atas  sebutan dan jabatanya Guru Besar itu merupakan akumulasi dari proses yang sangat panjang.  Dalam prosesnya, ada dosen yang dapat dengan cepat menggapainya ada pula yang mendapatkannya nyaris diujung masa baktinya. Dalam mencapainya ada empat kategori, yaitu:

Kelompok Pertama adalah Guru Besar yang dicapai dengan ‘segala cara’, karena Guru Besar bagi orang tersebut merupakan tujuan akhir yang harus dicapai. Konon pula dosen yang tergolong dalam kategori ini setelah mendapatkan guru besar dia akan frustasi karena ternyata ‘respect’ terhadap dirinya sebagai seorang guru besar dari orang sekitarnya dan harapan-harapan yang melekat dengan guru besarnya tersebut tidak seperti yang dia harapkan dan sebelumnya. Bahkan muncul gunjingan dan ungkapan dari lingkungan sekitarnya seperti: ‘orang seperti itu kok bisa ya jadi guru besar? Orang ini sering diungkapkan sebagai Guru Besar  GBHN (Guru Besar Hanya Nama).  Keberadaan Guru Besar ini di unit kerjanya dirasakan sebagai kegerahan yang luar biasa bagi kolega dan sama sekali bukan merupakan kebanggaan unit kerjanya.

Kelompok Kedua adalah Guru Besar yang dicapai atas dasar prestasi cemerlangnya dalam tridarma pergurunan tinggi .  Guru Besar kelompok ini sering disebut sebagai Guru Besar GBPP  (Guru Besar Pencapaianya melalui Prestasi). Konon Guru Besar dalam kelompok ini sering mendapat pujian seperti : ‘hebat ya masih muda sudah Guru Besar dan prestasinya dapat dijadikan panutan’ atau ‘hebat ya bapak-ibu itu, dia Guru Besar yang sangat berwibawa dan produktif’ Karena Guru Besarnya bukan merupakan tujuan akhir, maka setelah mendapat Buru Besar nya pun dia terus menunjukkan prestasi gemilangnya.  Bisanyanya Guru Besar ini dijadikan kebanggaan bagi unit kerjanya dan mahasiswa berbondong bondong antri untuk meminta beliau menjadi pembimbing.

Kelompok Ketiga adalah dosen yang Belum Guru Besar, tapi prestasi tridharmanya melebihi Guru Besar.  Kelompok ini sering disebut  dosen B-GBPP  ( Belum Guru Besar tapi Penuh Prestasi). Orang di sekitarnya sering sekali sudah menganggap dia sebagai Guru Besar karena kepakarannya. Biasanya orang ini kalau saja mau meluangkan waktu sebentar untuk mengajukan kenaikkan pangkat maka sudah dapat dipastikan dia akan memperoleh gelar Guru Besar.  Kelompok ini sering beranggapan bahwa secara moral dirinya masih belum pantas menjadi Guru Besar. Kalau sudah dirasa pantas, baru kemudian dia mengajukan Guru Besarnya

Kelompok Keempat adalah orang sekaliber Guru Besar prestasinya, tapi dia tidak pernah perduli dengan urusan kenaikan pangkatnya termasuk mengurus Guru Besarnya.  Kelompok ini  beranggapan bahwa Guru Besar merupakan suatu penghargaan atas prestasi seorang dosen. Oleh karena itu,  Institusi lah yang berkewajiban mengurus dan memberikan penghargaan tersebut kepadanya, bukan dia yang harus mengusahakannya. Kelompok ini sering diistilahkan KaGB (Kelompok acuh Guru Besar).
Mari kita merenung sejenak, termasuk kelompok manakah kita? Semoga kita tidak masuk ke dalam kelompok anomali  yang tanpa kita sadari telah  meracuni generasi penerus bangsa.

Sumber : Prof. Ronny Rachman Noor, Ir, MRur.Sc, PhD
Research and Community Services Institute - Bogor Agricultural University

Rabu, 21 September 2011

Ekosistem Mangove

DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994
dalam Santoso, 2000).
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1. Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
• Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
• Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
• Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
3. Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
• Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
• Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
• Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
• Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

ARTI PENTING EKOSISTEM MANGROVE
Hubungan Ekosistem Mangrove dengan Ekosistem Lainnya Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendirisendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengg anggu kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebut di atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).

Manfaat Ekosistem Hutan Mangrove
Sebagaiman telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, ekosistem hutan mangrove bermanfaat secara ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis dan ekonomis hutan mangrove adalah (Santoso dan H.W. Arifin, 1998) :
1. Fungsi ekologis :
• pelindung garis pantai dari abrasi,
• mempercepat perluasan pantai melalui pengendapan,
• mencegah intrusi air laut ke daratan,
• tempat berpijah aneka biota laut,
• tempat berlindung dan berkembangbiak berbagai jenis burung, mamalia, reptil, dan
  sebagai pengatur iklim mikro.
2. Fungsi ekonomis :
• penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang, bahan bangunan, bahan makanan, obat-obatan),
• penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil, kosmetik, penyamak kulit, dan pewarna
• penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan telur burung,
• pariwisata, penelitian, dan pendidikan.


Selasa, 20 September 2011

Apa Perbedaan antara Negara Kepulauan, Negara Maritim dan Bangsa Maritim?

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayah laut Indonesia lebih besar dari wilayah daratannya dan itu adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Kalau Indonesia terpecah menjadi banyak negara-negara kecil maka status negara kepulauan terbesar di dunia itu pun bisa jadi gugur. Jika itu terjadi, wilayah laut di dalam kepulauan Nusantara pun akan terkapling-kapling menjadi wilayah laut negara-negara baru.
Apakah sebagai negara kepulauan maka (sekarang) Indonesia otomatis menjadi negara maritim? Apakah kalau kita bicara ikan kita di laut banyak sekali dicuri oleh nelayan asing ilegal kita bisa menganggap kita sebagai negara maritim yang mampu menguasai wilayah laut kita sendiri?
Apakah bangsa Indonesia yang (sekarang) hidup di negara kepulauan ini otomatis adalah juga merupakan bangsa maritim? Mengapa kita sering mendengar banyak kapal ikan dari Jepang, Cina, Taiwan, dll menangkap ikan di Indonesia tapi jarang kita mendengar kapal ikan Indonesia menangkap ikan di negara-negara mereka? Ada kenalan saya belajar teknik perkapalan di Inggris sekitar tahun 2001 mengatakan bahwa 95% mahasiswa teknik perkapalan di universitas tempat dia belajar bisa mengoperasikan kapal layar (sailing boat). Sedangkan saya baru saja berbincang-bincang dengan sekitar 40an mahasiswa jurusan teknik perkapalan di sebuah perguruan tinggi dalam negeri dimana pada saat itu hanya 1 orang mahasiswa yang pernah berlayar dalam kurun waktu 1 bulan terakhir dan sisanya tidak pernah berlayar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Saya sendiri pun tahun 2007 ini hanya baru 2 kali berlayar di laut.
Bagaimana caranya dan apa syaratnya agar bangsa kita benar-benar menjadi bangsa maritim yang hidup di negara kepulauan Indonesia yang juga merupakan negara maritim yang kuat?