Senin, 12 September 2011

Riset Laut Illegal: Maling Data Potensi Laut Indonesia


POTENSI dan kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, wilayah nusantara menjadi  surga riset ilegal kapal asing. Tujuannya tidak lain adalah untuk kepentingan perusahaan, lembaga atau negara yang ingin menguasai bumi khatulistiwa. Banyak data dan potensi sumber daya alam dicuri karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian bangsa ini.
Sejak era reformasi, survei dan pemetaan laut yang dilakukan pihak asing semakin marak terjadi. Mulai dari kedok kerjasama institusi pemerintah dengan pihak asing, sampai dengan yang jelas-jelas ilegal alias tidak memiliki izin dari pemerintah Indonesia.
Kegiatan tersebut tanpa sadar membawa konsekuensi bocornya data negara yang seharusnya dirahasiakan.  Informasi tentang medan laut dapat digunakan pihak asing untuk menentukan taktik dan strategi militer, jika mereka ingin menguasai wilayah Indonesia.
Sebenarnya negara telah memiliki peraturan kerjasama internasional di bidang penelitian dan pengembangan, dengan adanya PP (Peraturan Pemerintah) No  41 tahun 2006,  tentang perizinan kegiatan penelitian dan pengembangan oleh pihak asing di Indonesia. Peraturan pemerintah ini menetapkan ketentuan, persyaratan, kewajiban dan larangan yang harus ditaati lembaga atau peneliti asing, mitra serta lembaga penjamin kegiatan penelitian.  Peraturan tersebut harus dilaksanakan pemerintah untuk melindungi masyarakat, bangsa dan negara dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan penelitian pihak asing.
Seluruh penelitian harus mendapat izin dari lembaga penanggung jawab, yaitu Kementerian Riset dan Teknologi, melalui tim yang dibentuk Sekretariat Perizinan Peneliti Asing (TKPIPA). Tim ini merupakan pokja interdept yang anggotanya terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan, Mabes POLRI, BIN, LIPI, BPPT, serta kementerian lain yang disesuaikan dengan misi riset.
Selain itu, kapal survei asing yang akan digunakan di Indonesia juga harus memenuhi persyaratan yang ditentukan Kementerian Pertahanan. Karena kapal riset asing bukan sekadar lewat, tetapi membawa data informasi kondisi laut Indonesia. Jika tidak berhati-hati data laut Indonesia bisa berpindah tangan.
Namun, pemerintah sendiri tidak konsekuen menjalankan peraturan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya benturan antar peraturan yang ada. Sebagai contoh, Undang-undang No 22 tahun 2001 yang mengatur tentang minyak dan gas. Aturan ini memberikan peluang bagi pihak asing untuk melakukan kegiatan survei dan pemetaan lepas pantai dengan cara mudah, yaitu cukup  memperoleh izin dari Dirjen Migas tanpa koordinasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, seperti yang diatur peraturan sebelumnya. Padahal, sudah sangat jelas bahwa penggunaan peneliti dan kapal asing harus mendapat persetujuan Security Clearance dari pihak Kementerian Pertahanan.
Birokrasi yang rumit serta panjangnya waktu untuk proses perizinan inilah yang menjadi bahan pertimbangan bagi para pelaku (mitra kerja dan lembaga penjamin di Indonesia) pemenang tender mencari jalan pintas dengan cara mengambil celah-celah hukum agar survei laut tetap “legal”, tanpa melewati prosedur. Hal ini terjadi, karena bagi mereka yang dipikirkan adalah benefit yang harus diperoleh. Memotong jalur birokrasi berarti menghemat waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
Perusahan penjamin PT.HIE misalnya, mitra pelaksana kegiatan survei migas lepas pantai asing yang beralamat di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan ini lebih senang memuluskan kegiatan survei melalui perizinan dari Dirjen Migas dibandingkan melalui Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Padahal untuk urusan survei laut yang menggunakan tenaga ahli asing dan kapal asing diwajibkan mendapatkan pertimbangan dari tim yang berada di bawah Kemenristek  sebelum akhirnya memperoleh persetujuan Security Clearance dari Kemenhan.
Lalu, benarkah proses perizinan di Direktorat Wilayah Pertahanan Kemenhan memerlukan waktu lama seperti yang dikeluhkan para agen pelaksana kegiatan? Seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, untuk mengurus SC (Security Clearance) di Kemhan hanya butuh waktu paling lama tiga hari jika semua persyaratan seperti Diplomatic Clearance dari Kemenlu, PKKA (Permohonan Keagenan Kapal Asing) dari Kemenhub, kemudahan Khusus Bermukim (Dahsuskim) dari Imigrasi Kemenhukham serta persetujuan dari Sekretariat Perizinan peneliti Asing Kemenristek  telah lengkap.
Bukti inilah yang menunjukkan pihak  mana yang seharusnya diwaspadai melihat peluang  besar bocornya informasi data laut Indonesia.
Disebutkan sumber, bahwa kapal-kapal seismik (kapal riset) bisa sangat leluasa menyapu bersih informasi dasar laut Indonesia. Datanya pun langsung dikirim via satelit ke negara di mana perusahaan tersebut  memenangi tender.
Apalagi fakta menunjukkan sejak dulu Indonesia memegang peranan penting dalam jalur perdagangan dunia. Semakin meningkatnya ketergantungan dunia akan laut, perairan Indonesia menjadi incaran penguasaan negara asing, terutama negara yang industrinya sangat tergantung pada minyak bumi dan transportasi laut
Meningkatnya kebutuhan minyak bumi dibuktikan dengan semakin intensifnya survei seismik asing guna mencari wilayah-wilayah baru potensi minyak dan gas di dasar laut Indonesia. Wilayah nusantara  pun menjadi terbuka dari segala arah dan rentan terhadap perkembangan lingkungan, baik global, regional maupun nasional.
Mengutip apa yang pernah ditulis oseanolog Prof Illahude, keunikan dan kompleksitas perairan Indonesia telah menjadi daya tarik para peneliti asing dari berbagai negara. Hampir semua tipe dasar topografi ditemukan di Indonesia, seperti continental shelves, continental , insular slope, basin laut dalam, palung dan relung.
Ekspedisi penelitian laut Internasional pun banyak dilakukan mulai dari ekspedisi Challenger (1872-1875), The Gazelle (1875), The Valdivia (1899), The Siboga (1899-1900), The Planet (1906-1907), The Snellius I (1929-1930), The Albatros (1948), The Spencer of Bird (1947-1950), The Galathea (1981) serta yang terakhir Deep Sea Explorer (2010) yang dilakukan kapal Angkatan Laut Amerika Serikat di Laut Sulawesi.

Praktek Riset Laut Illegal Harus Dihentikan
BANYAKNYA kapal asing yang melakukan riset di perairan Indonesia tanpa mengantongi izin dari lembaga terkait, mendapat kecaman dari berbagai pihak. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Bukan hanya data rahasia keamanan negara yang dicuri, potensi sumber daya alam dan energi pun bisa dicaplok pihak-pihak yang berkepentingan. Pelaku harus ditangkap.
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Hanura, Muradi Darmansyah mendesak pemerintah agar mengusut tuntas kasus kapal riset asing ilegal. “Negara ini kan punya aturan. Jadi jangan ada pelanggaran. Laut Indonesia sudah diatur sesuai dengan Zona Ekonomi Eksklusif  (ZEE).  Saya menilai ini adalah kelalaian pemerintah,” kata Muradi.
Untuk mengadakan eksplorasi dan penelitian, menurut Muradi, sesuai aturan kapal-kapal asing harus mendapat izin terlebih dulu dari pemerintah Indonesia. Apalagi menyangkut kekayaan alam Indonesia, mereka harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku. “Jika dilanggar ini kriminal. Kami mengecam riset-riset ilegal tersebut. Ini suatu hal yang memperburuk negara kita di mata Internasional. Kita ini terlalu gampangan. Kami akan mempertanyakan ini pada lembaga terkait,” ujar Muradi.
Kecaman juga datang dari mantan KSAL, Laksamana (purn) Bernand Kent Shondak. Menurutnya, penelitian tidak hanya diatur UU Indonesia, tetapi juga diatur UU Internasional. Selama dirinya menjabat sebagai Komandan Staf Angkatan Laut tidak menemukan adanya indikasi kasus tersebut. Kecuali yang sudah diatur BPPT.
“Jika ada kapal asing yang melakukan riset tanpa izin wajib hukumnya ditangkap. Jika perlu ditenggelamkan saja,” ujar Kentyang mantan KSAL di era Presiden Megawati Soekarnoputri ini
Apalagi jika penelitian laut untuk mencari layer (lapisan SOFAR), di mana kapal selam yang masuk di jalur itu tidak bisa ditembus sonar. “Layer itu rahasia negara yang paling penting. Pemetaan layer untuk kepentingan militer agar operasi kapal selam tidak terdeteksi sonar kapal patroli air,” kata Kent.
Ada juga kapal dari Amerika yang melakukan riset di perairan Indonesia,  tapi itu bekerjasama dengan BPPT. Jelas lanjut Kent, harus dicari tahu dan dilaporkan ke Angkatan Laut. “Yang paling sering itu di wilayah Maluku, Ambon. BPPT bekerjasama dengan kapal Amerika dan Jepang untuk penelitian ikan dan terumbu karang. Kalau untuk tujuan militer, apalagi sampai data diperjualbelikan tanpa kompromi harus ditangkap,” tegasnya.
Manfaat dan keuntungan dari penelitian itu sangat luar biasa, tapi keuntungan yang diambil sebagian besar untuk negara lain. Jika dibandingkan, menurut Kent, kerugiannya justru lebih besar. Karena data penting diambil mereka. “Sekarang baru sadar dan kaget. Dulu ke mana saja? Sekarang baru pada teriak. Saya tanya, segi mana yang menguntungkan Indonesia, tidak ada. Semua keuntungan untuk negara luar,” paparnya.Sikap apa yang harus dilakukan pemerintah? Pemerintah harus tegas. Kent kaget, kenapa TNI AL tidak mengetahui kegiatan penelitian secara ilegal. “Kita punya kapal patroli begitu banyak, masa tidak tahu. Jika memang ada yang tahu, saran saya sebaiknya segera dilaporkan. Dalam UU jelas bahwa harus ada izin dan Security Clearance yang dikeluarkan BAIS,” jelasnya.
Hal senada dikatakan pengamat kelautan, Sahala Hutabarat. Ia menilai kegiatan ilegal sangat merugikan bangsa Indonesia, sehingga harus dilakukan pengusutan secara tuntas. “Biasanya kan kalau kapal melakukan survei harus ada izin dari pihak-pihak terkait. Apalagi mengenai militer harus mendapat izin dari BIN, tentu dengan pengawasan Angkatan Laut,” ujar Sahala.
Sahala mengatakan, hasil penelitian harus menjadi data bersama, meski yang melakukan penelitian adalah kapal asing. “Waktu penelitian kapal Amerika di Sulawesi itu juga jelas, ada izin dari BPPT. Tapi, selama itu ilegal tentunya harus ditangkap,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar